SELAMAT DATANG... SUGENG RAWUH...HALO INDONESIA!
Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi Nan Jaya

Tuesday, July 10, 2007

LANGKAH KAKI TUKANG BAKSO



Ting..ting..ting.. Jam dinding menunjukkan pukul 19.45 WIB. Suasana komplek yang hening, karena belum banyak yang tinggal di sana, terpecahkan oleh suara mangkuk dan sendok yang diadu, khas tukang bakso. Kami bergegas menuju pintu pagar dan memanggil tukang bakso tersebut. Tiga mangkuk bakso kami pesan.

Sambil menanti ia meracik baksonya, saya mengajaknya berbincang. Perbincangan ringan yang mungkin menurut para politisi, tidak ada artinya, tetapi bagi tukang bakso tersebut bisa sangat berarti. Saya menanyakan di mana rumahnya, bagaimana perjalanan bisnisnya, dan lain sebagainya, Dia menjawabnya dengan terpatah-patah, mungkin karena lelah mendorong gerobaknya di komplek yang memiliki kontur tanah berbukit-bukit tersebut, atau karena terlalu konsentrasi meracik bakso yang memikat selera itu.

Dari beberapa jawaban dan pernyataan yang terlontar dari mulutnya, saya mendengar beberapa hal yang menarik perhatian. Dia mengatakan bahwa tempat tinggalnya terletak agak jauh dari komplek tempat kami tinggal. Saya sulit membayang mendorong gerobak bakso yang berat, melewati jalan komplek kami yang naik turun, dan tinggal di tempat yang relatif jauh, melintasi beberapa daerah sepi tak berpenghuni nan gelap gulita. Kelelahan tampak jelas di matanya, saat mengatakan bahwa ia harus berjualan malam agar ada pembeli, karena kalau siang, sebagian besar penghuni komplek, yang notabene adalah pelanggan potensialnya, sedang berada di tempat mereka mencari nafkah.

Ketika saya bertanya jam berapa ia pulang, dijawabnya dengan santai bahwa ia pulang dari lokasi pukul sekitar pukul 21.00 WIB dan tiba di rumah paling cepat sekitar pukul 23.00 WIB. Wow..!!! Perjalanan kaki dua jam dengan mendorong gerobak bakso, menembus dingin dan gelapnya malam. Padahal sang istri tercinta mengharapkan agar ia pulang lebih awal, karena kekuatirannya atas keselamatan sang suami tercinta. Namun terpaksa ia mengabaikan permintaan istrinya, demi kelangsungan hidup keluarga yang dipimpinnya. Hmm, andai saya yang berada di posisinya, tak terbayangkan betapa beratnya hidup ini.

Sedikit renungan dalam kisah ini, ternyata tiada perjalanan hidup yang mudah. Ketika saya mengeluh karena setiap hari harus berangkat pagi hari menembus kemacetan lalu lintas, menghadapi setumpuk pekerjaan yang melelahkan, dan mengatakan bahwa itu semua adalah keadaan yang mengerikan, lalu apa yang harus saya katakan tentang perjalanan sang tukang bakso itu… Ia melintasi malam dalam sepi, dingin, gelap, dan kelelahan karena berjalan sepanjang hari, sementara saya hanya menembus macet dalam beberapa jam, itu pun duduk, dan kemudian duduk di ruangan kantor yang ber AC. Rasa syukur seharusnya segera hinggap di hati yang rapuh ini. Dan semoga demikian juga dengan para pembaca sekalian yang budiman…


No comments: